Karena Beli Sate Madura Arif Setiawan, October 10, 2015April 28, 2020 Beberapa hari yang lalu saya dan Geng Myaband akhirnya kesampaian juga beli sate Madura yang tiap senja selalu terdengar di sekitar komplek Green Valley. Te.. Sate… Begitulah kata-kata yang dilantunkan dengan nada khasnya. Yang jual ibu-ibu asli dari Madura ternyata. Waktu itu kebetulan saya dan Mira yang beli, dan karena iseng dan pengen tahu akhirnya kami sedikit tanya-tanya ke ibunya. Dan yang bikin kami kaget seketika dan sedikit speechless adalah usia penjualnya baru 20 tahun, yang artinya beberapa tahun lebih muda dari kami. Sudah punya anak 1 umur 2 tahunan. Tinggal di daerah deket Padasuka. Tiap hari keliling naik turun bukit Jatihandap jualannya. Mulai dari siang hingga malam hari. Gantian sama suaminya yang orang Madura dan jualan sate juga, bedanya suaminya jualan dari pagi hingga siang hari untuk kemudian bergantian jagain anak mereka. Mereka sudah bertahun-tahun di Bandung. Menikah ketika usia ibunya 15 tahun. Berhenti sekolah kelas 2 SMP langsung nikah dan merantau ke Bandung. Kata ibunya, di daerahnya Bangkalan (salah satu bagian dari Madura) masih banyak banget yang seperti itu, nikah muda terus ikut merantau suami. Bahkan katanya ada yang di usianya udah punya anak lebih dari satu atau bahkan udah nikah beberapa kali. Masih ada juga yang nikahnya ga pake legal alias nikah ya tinggal nikah aja disaksikan tokoh setempat trus kalau mau cerai ya tinggal talak. Tapi katanya sekarang udah mendingan berkurang setelah adanya pergantian Kepala Desa di sana. Udah harus ngurus administtasi dan pake Penghulu. Whaaattt?? Kami tambah melongo. Emejing. Masih ada ya ternyata yang kayak gitu? Ini baru Madura lho yang notabene masih dekat dengan Pulau Jawa. Apa kabar daerah Indonesia yang lain? Dari obrolan singkat sambil nemenin ibunya ngipas sate itu akhirnya kami sedikit ngobrol-ngobrol bahas kehidupan dan negara *ahzeeg*. Hingga sampai pada kesimpulan betapa pentingnya suatu pendidikan itu. Harusnya minimal ada anak-anak daerah yang bisa dijadikan role model bagi teman-temannya di desa untuk bisa lebih melek akan hal ini. Gimana ya caranya? Lha itulah mungkin salah satu yang harus ikut dipikirkan bersama oleh kita dan sarjana-sarjana di Indonesia dan orang-orang yang diberi kesempatan dibiayai negara untuk mengenyam pendidikan tinggi di dalam maupun luar Indonesia. Mau kontribusi apa kita? Maaf bukan sedikit sok nasionalis, tapi agak sadar diri aja si. *ditulis beberapa hari setelah makan 15 tusuk sate madura + 3 bungkus lontong keliling di Jatihandap, kapan-kapan kita beli lagi bu, satenya enak. → 395 readers Related Life BangkalanLifeMaduraMyabandSate Madura